Dalam
pidatonya pada peresmian penerimaan mahasiswa baru,
Rektor ITB, Prof. Dr. Djoko Santoso, mewanti-wanti agar lulusan
perguruan tinggi tidak menjadi "Sarjana Kertas". Sarjana kertas adalah bukan dalam pengertian sarjana yang
ahli membuat kertas, sehingga bisa kerja di pabrik pulp Indah Kiat. Tapi
yang dimaxud sarjana kertas adalah sarjana yang lulus hanya karena
ijasah tanpa disertai kemampuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya di
perguruan tinggi tempat dia belajar. Beliau mengingatkan bahwa
mahasiswa jangan hanya mengejar kertas ijasah, tetapi harus
mengembangkan kapasitas. "Sarjana harus memiliki kapasitas yang cukup
untuk berbuat kebaikan" tutur Rektor ITB tersebut.
Ada yang menarik dari pernyataan pak rektor ini. Bahwa ukuran kesarjanaan seseorang itu ternyata bukan dari kertas ijasahnya, namun dari kapasitasnya untuk berbuat kebaikan. Jadi kalau banyak lulusan perguruan tinggi yang menjadi koruptor, atau terlibat dalam kasus korupsi, ini sama artinya bahwa perguruan tinggi di Indonesia belum banyak yang berhasil menelorkan sarjana. Perguruan tinggi di Indonesia baru berhasil membagikan ijasah kelulusan karena yang bersangkutan telah menyelesaikan seluruh proses pembelajaran di perguruan tinggi tersebut. Masalah apakah bahan pelajarannya sudah dikuasasi dan terinternalisasi pada si calon sarjana, itu urusan lain. Jadi, apakah si lulusan telah menjadi sarjana atau belum, ternyata tidak dijamin oleh perguruan tinggi yang meluluskannya. What Indonesian Students! Masalah kapasitas berbuat baik ini, nampaknya menjadi masalah besar bangsa ini. Meskipun dalam buku-buku sejarah dan peradaban, bangsa Indonesia disebut-sebut sebagai bangsa yang berbudaya, baik budi, dan tidak sombong, jagoan lagi pula pintar (si boy kaleeee!), ternyata dalam prilaku kesehariannya sangat jauh dari label ini. Prilaku kucing garong, kunyuk, dan musang berbulu domba, ternyata sudah mewabah di sini. Saya hanya bisa prihatin ketika salah satu ex mahasiswa saya, terlibat kasus korupsi milyaran rupiah, hanya setelah 2 tahun lulus dan bekerja di perusahaan berskala nasional. Sekali lagi, kapasistas berbuat baik ini, memang yang harus menjadi perhatian kita semua, ketika akan memberikan label sarjana kepada seseorang. Ketika, saya membaca pemberitaan kasus korupsi ex mahasiswa tadi di Koran, saya memang sempat mengingat-ngingat prilaku beliau semasa kuliah. Ada beberapa kenakalan yang nampaknya menjadi bakat terpendam dari beliau: (i) pernah memalsukan bukti lunas pembayaran SPP, padahal beliau belum bayar; (ii) pernah merengek dan menangis tersedu-sedu memohon untuk diluluskan ketika dalam sidang skripsinya dinyatakan harus redefense. Saya bukannya mau memberikan label buruk kepada seseorang, namun hanya ingin memberikan fakta, bahwa kebiasaan untuk berbuat tidak baik, ternyata merupakan kecenderungan. Artinya track record seseorang itu, tetap harus menjadi pertimbangan utama dalam menilai seseorang. Bibit, bebet, bobot, memang kriteria jitu yang diajarkan oleh para orang tua kita dalam menilai kapasitas seseorang. Balik lagi kepada masalah sarjana kertas tadi, ini memang bisa jadi merupakan sumber utama dari carut marutnya negeri kita. Kalau aparat penegak hukum ikut korupsi, mungkin SH nya SH kertas. Kalau bankir terlibat suap, mungkin SE nya SE kertas. Kalau insinyur memanipulasi spek, mungkin STnya ST kertas. Kalau dokter, ikutan malpraktek, membantu aborsi pelaku seks bebas, mungkin dokternya dokter kertas. Kalau dosen bisanya cuma nakut-nakutin mahasiswa, sok killer tapi ngajarnya jelek, bikin penelitian tapi nyontek. itu namanya dosen kertas juga. Sistem pendidikan kita yang berorientasi pada kuantitas lulusan, nampaknya tidak berhasil menciptakan orang-orang yang mampu berbuat baik. Kita terlalu picik menterjemahkan amanat UUD 45 bahwa pendidikan menjadi hak semua negara, dengan mengeksekusi bahwa semua murid harus lulus UAN atau Kejar Paket C. Dan semua yang sekolah di perguruan tinggi harus lulus, tidak boleh DO. Sehingga untuk lulus saja murid ditoleransi atau diperbolehkan untuk menyontek serta didukung oleh guru-guru, oleh pajabat dinas pendidikan, bahkan oleh bupatinya. Prilaku terpuji yang ditunjukkan oleh murid yang tidak menyontek dan guru yang tidak berkompromi, malah dianggap oknum yang akan mencoreng prestasi sekolah. Sungguh bangsa yang aneh … Jadi bagaimana bisa jadi sarjana, dan mau serta mampu berbuat baik kalau didalam proses pendidikannya saja, ketidakjujuran sudah merupakan elemen yang secara implisit memang eksis. Adanya jokey dalam ujian saringan, ujian mata kuliah, pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi, semakin melengkapi miringnya kualitas pendidikan bagi bangsa ini. Jadilah segalanya komplit, pake telor……… Pertanyaannya apakah ini bisa diperbaiki dan dibenahi? Tentu saja bisa! Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Probability selalu ada……. Yang penting harus dimulai dengan adanya willingness dulu. Apa yang harus dilakukan agar tidak menjadi sarjana kertas? Ada beberapa hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
Ngomong-ngomong, sarjana kertas ini sebenarnya masih tersegmentasi lagi : ada kertas Perur yang differentiated dan mahal, ada kertas conqueror yang lux, ada karton manila yang tebel tapi murahan, ada kerta HVS yang tipis tapi bersih, ada kertas stensil yang buram, dan terakhir ada kertas bekas bungkus tahu ini yang dibuat dari kertas koran bekas lengkap dengan minyak jelantahnya. Maka makin terhinalan bangsa Indonesia ini, manakala di sini banyak sekali sarjana kertas bekas bungkus tahu ini dan bala2… |